Senin, 05 Juli 2010

invasi rusia ke georgia 2008: sebuah pendekatan psikologikal

ANALISA POLITIK LUAR NEGERI
KEBIJAKAN RUSIA TERHADAP GEORGIA:
INVASI RUSIA KE GEORGIA 2008



DISUSUN OLEH :
HARMINA
2008 – 22 – 068
KELAS JUMAT PAGI

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
JAKARTA
2010
KEBIJAKAN RUSIA TERHADAP GEORGIA:
INVASI RUSIA KE GEORGIA 2008

Latar Belakang
Berakhirnya Perang Dingin ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 sebagai akibat dari ketidakstabilan keadaan politik dalam negeri Uni Soviet tersebut. Lalu di dalam negerinya, Presiden saat itu, Michael Gorbachev digantikan oleh Boris Nikolayevich Yeltsin pada tahun 1990. Situasi politik pada masa Gorbachev mengalami kendala dan terpaksa harus mereformasi sistem ekonomi Soviet menjadi sistem pasar dan juga memulai untuk membentuk negara demokrasi serta pemberian otonomi. Namun usaha ini mengalami kegagalan dan berujung pada runtuhnya adidaya tersebut, lalu terpecahlah menjadi 13 negara yang terbagi atas sejumlah wilayah, yaitu Rusia dengan bentuk Republik dan sisanya negara satelit memerdekakan diri dan menjadi anggota CIS (The Commonwealth of Independent States). Akan tetapi (selanjutnya) hubungan Rusia dengan salah satu negara anggota pecahan Uni Soviet, yaitu Georgia, tidak berjalan baik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Rusia dan Georgia merupakan negara-negara pecahan Uni Soviet. Sejak tahun 1990-an, hubungan Rusia dan Georgia pun memang tidak baik. Di awal tahun 1990-an, Ossetia Selatan dan Abkhazia terpisah dari Georgia, tepatnya tahun 1992, dan menjalin hubungan dekat dengan Rusia. Akan tetapi, Georgia tidak mengakui dan masih menganggap bahwa Ossetia Selatan merupakan bagian dari Georgia. Putin adalah seorang yang dapat dikatakan berambisi membuat Rusia menjadi kekuatan besar lagi dalam kancah Dunia, termasuk dengan usahanya integrasikan Rusia dengan CIS.


Disamping itu, kedekatan Georgia dengan barat menimbulkan kecemasan bagi Rusia, karena pengaruh Barat akan dengan mudah menyebar di wilayah Kaukasia (Selatan) yang mengurangi Sphere of Influence Rusia disana. Apalagi, Rusia tahu bahwa Barat memiliki kepentingan untuk membatasi ketergantungannya terhadap dominasi distribusia energy Rusia (begitu juga Iran) untuk mengadakan kerjasama melewati jalur energy minyak dan gas alam yang melewati wilayah Azerbajuan-Georgia-Turki (jalur pipa Baku-tbilisi-Ceyhan). Mendukung kemerdekaan Abhazia dan Ossetia Selatan merupakan cara Rusia untuk mempersempit ruang gerak Georgia dan memastikan pengaruh Rusia di wilayah Kaukasia, tetap terjaga.
Pada Agustus 2008, Rusia melakukan invasi ke negara Georgia dengan alasan bahwa Georgia telah melakukan berbuat kerusakan dan kekejaman dengan menginvasi Ossetia Selatan (yang masuk dalam wilayah Kaukasia), dan berdalih bahwa hampir sebagian besar korban merupakan warga negara yang beridentitas Rusia. Georgia memilih untuk melakukan penyerangan besar-besaran dengan tujuan membuat Ossetia Selatan berada kembali di bawah kendali pemerintah pusat Georgia. Hal ini pun ditanggapi dengan Rusia dengan melakukan penyerangan ke Georgia.

Perumusan Masalah
Yang menjadi pertanyaan analisa masalah ini adalah mengapa Rusia dibawah Dmitry Medvedev melakukan invasi ke Georgia pada Agustus 2008 ? Bagaimana Dmitry Medvedev merumuskan kebijakan luar negerinya terhadap Georgia khususnya terkait isu invasi Rusia ke Georgia?




Kerangka Pemikiran
Proses pembuatan kebijakan Amerika Serikat ini cukup relevan jika dianalisa melalui pendekatan “Role of Leader” (psychological) karena Presiden Dmitry Medvedev selaku pemimpin negara dan pembuat keputusan sangat memainkan peranan dalam perumusan kebijakan luar negeri Rusia. Di dalam pendekatan psychological ini pun terdapat dua konsep rasionalitas dari pembuat kebijakan yaitu :
1. Instrumental Rationality
Yaitu si pembuat kebijakan memiliki pilihan alternatif sendiri, dan ketika dihadapkan dengan dua atau lebih pilihan alternatif dia akan memilih yang mana yang terbaik outcomenya. Sehingga, pembuat keputusan bebas memilih opsi mana yang terbaik(menurutnya).
2. Procedural Rationality
Yaitu pembuatan kebijakan yang didasarkan pada informasi yang lengkap dan pertimbangan yang hati-hati dalam memilih alternatif yang ada beserta konsekuensinya. Konsep ini seperti halnya Realisme yang percaya bahwa dunia ini anarki, sehingga kebijakan yang ada adalah sama yaitu untuk mempertahankan eksistensi negaranya.
Merujuk pada konsep tersebut diatas, kebijakan Rusia dibawah pimpinan Dmitry Medvedev untuk mengirim pasukan Rusia ke Georgia dapat dianalisa melalui pendekatan terhadap personality, pengalaman, latar belakang Medvedev selaku pembuat keputusan. Akan tetapi, bukan hanya hal-hal tersebut yang turut mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh Medvedev. Mengutip perkataan Abraham Lincoln sebagai mantan Presiden AS (1861-1865) sebagai berikut:
”Saya tidak mengontrol keadaan, tetapi keadaanlah yang mengontrol saya” .
Atau, dapat dikatakan bahwa faktor situasi politik domestik dan internasional, bahkan orang-orang disekitarnya, juga turut serta mempengaruhi kebijakan Dmitry Medvedev untuk melakukan Invasi ke Georgia tahun 2008.
Pembahasan
Pada dasarnya kebijakan luar negeri Rusia pasca Uni Soviet terdiri pada beberapa pilar penting yakni hubungan dengan negara-negara pecahan Uni Soviet, hubungan dengan negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika, (juga) Asia.
Prioritas pertama ditujukan pada negara-negara bekas Uni Soviet yang tergabung dalam CIS dan pembentukan scara bertahap Uni Rusia-Belorusia sebagai upaya reintegrasi bekas konstituen Uni Soviet tersebut. Prioritas ini ditujukan untuk menjamin keamanan Rusia scara geopolitik pasca runtuhnya Soviet. Hal ini terlihat dari bidang-bidang kerjasama yang menjadi prioritas seperti upaya penyelesaian bersama atas konflik-konflik yang terjadi di negara CIS (Commonwealth of Independence States).
Disamping itu, titik berat selanjutnya kebijakan internasional Rusia adalah terhadap negara-negara Eropa. Kebijakan tradisional ini berangkat dari kesadaran menjaga rumah Eropa dimana bangsa ini Secara geopolitik tinggal. Arah utama kebijakan ini adalah pembentukan system keamanan bersama eropa yang stabil dan demokratis. Rusia dan berkepentingan langsung dengan perkembangan organisasi kerjasama dan keamanan eropa (OSCE).
Hal ini menjadi dilemma sendiri bagi Rusia dalam (hal ini untuk) menjalankan politiknya terhadap Georgia, karena pasti akan melibatkan dan (berpeluang) mengorbankan hubungan baik yang telah dijalin bersama negara-negara Barat tersebut.
Medvedev sendiri pada awalnya lebih mencondongkan Rusia pada pendekatan Antlanticism yaitu membangun kerjasama dengan negara Eropa dan AS, terkait dengan demokratisasi Rusia dan liberalisasi Rusia. Karena dengan latar belakang pendidikannya hukum, maka dia dapat dikatakan mengusahakan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi, bahkan termasuk kebebasan ekonomi. Dia mengatakan bahwa kebebasan lebih-baik daripada tidak ada kebebasan, serta menyerukan reformasi sistem yudisial dan pemisahan yang nyata antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Dan dengan liberalisasi inilah yang (pada saat Yeltsin berkuasa) menjadi syarat untuk menjalin hubungan dengan barat.
Akan tetapi kemudian, dalam masalah Georgia, kebijakan Rusia malah berpendekatan Eurasianism. Dimana Rusia mulai terkonsentrasi dengan isu-isu reintegrasi dengan alasan perlindungan etnis Rusia di negara tersebut. Dalam pendekatan eurasianis ini, Rusia dihadapi dengan pilihan untuk bertindah isolasionis atau imperialis karena nilai-nilai nasionalis Rusia mulai menyeluap menuntut status The Great Power seperti Uni Soviet terdahulu.
Untuk itu perlu diketahui bahwa apa sesungguhnya input-input dari kebijakan Rusia (dibawah Presiden Medvedev) dalam penyerangan terhadap Georgia.
Dari segi individual source, Presiden Medvedev sendiri merupakan orang yang lurus dalam artian tidak neko-neko dan tidak suka dengan tantangan. (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa) Medvedev merupakan penganut kebijakan liberalisme terkontrol dimana dia menekankan pada perekonomian sebagai sektor utama seperti sektor energi dan industri pertahanan harus dikuasai oleh negara demi menjamin perusahaan tersebut memiliki pengaruh politis di dalam dan di luar negeri. Dan Presiden Medvedev memiliki latar belakang sebagai pelaku bisnis, yaitu Dewan Direksi Gazprom—perusahaan gas terbesar milik Rusia, lalu direktur urusan hukum perusahaan kertas terbesar di Rusia, serta pendiri perusahaannya sendiri yaitu Uran.
Medvedev mulai terjun ke kancah pemerintahan yaitu dengan menjadi konsultan hukum di beberapa perusahan dan institusi pemerintahan, dan untuk pertama kalinya pada tahun 1991, dia kenal dan bekerja bersama Vladimir Putin sebagai penasehat hukum Sobchak dan konsultan hukum untuk komite urusan eksternal yang diketuai Putin. Lalu pada tahun 1999 dengan diangkatnya Putin sebagai Presiden Rusia menggantikan Yeltsin, karir politik Medvedev pun dimulai. Medvedev diangkat sebagai wakil kepala badan administrasi kepresidenan. Kemudian Medvedev ditugaskan dengan jabatan baru sebagai wakil pertama Perdana Menteri di pemerintahan Putin.
Disamping itu, Dalam masalah Ossetia Selatan dengan Georgia, Rusia memiliki kepentingan nasionalnya sendiri mengenai kestabilan di Ossetia Selatan yang tentunya berbenturan dengan kepentingan Georgia atas Ossetia Selatan. Tidak ada minyak yang dapat mengalir dari Azerbaijan ke Turki tanpa adanya aliran melalui jalur pipa wilayah Georgia. Terlebih lagi situasi internal di Georgia mempermudah Rusia pencapaian kepentingannya. Negara tersebut terbagi atas pemerintah pusatnya dan separatis yang mau memisahkan Abakhzia dan Ossetia Selatan, negara itu juga militernya lemah, dan terlihat sebagai negara dengan perekonomian rendah alias paling miskin diantara CIS. Dengan dasar ini, (tentu saja) mempengaruhi Medvedev yang dahulunya berlatar belakang sebagai pebisnis yaitu Dewan Direksi Gazprom, perusahaan gas terbesar di Rusia.

Akan tetapi disini arah kebijakan Medvedev dapat berubah juga, tidak terlepas dari pengaruh Vladimir Putin sebagai Perdana Menteri dalam kepemimpinannya. Hubungan antara Medvedev dan Putin sudah terjalin sejak lama yaitu saat mereka sama-sama bekerja untuk Yeltsin. Medvedev bisa naik menjadi presiden atas dasar rekomendasi Putin. Hal ini juga karena terdapat opini public bahwa dengan naiknya Putin maka Rusia dianggap tidak demokratis dan kurang memberi kebebasan. Putin dalam kepemimpinannya tidak melakukan reformasi demokrasi karena dia masih mengekang kebebasan pers, peradilan, dan parlemen.
Sesungguhnya (pun) pemilihan Medvedev bersifat politis karena yang pertama bahwa Putin telah terpilih menjadi presiden dalam 2 putaran sehingga tidak mungkin dia naik lagi. Hal ini menjadi pertimbangan saat pada akhirnya memilih Medvedev sebagai Presiden penggantinya tahun 2008 yaitu mengenai struktur keamanan Rusia. Maka Medvedev disini dapat dikatakan (tapi tidak mutlak) sebagai boneka yang dikendalikan oleh Putin. Medvedev orang yang setia dan memang sudah sejak lama ikut dengan Putin dalam kancah politik. Bahkan, sebagai orang yang berada di lingkungan Presiden Medvedev dan jabatannya sebagai Perdana Menteri Putin dapat dengan mudah menyarankan Medvedev (bahkan menekannya) agar melakukan penyerangan, ataupun dalam pengambilan keputusan lain.
Tanda-tanda kebijakan Rusia terhadap Georgia sudah jelas ada kaitannya dengan kepentingan Rusia salah satunya dalam isu reintegrasi etnis Rusia khususnya di negara-negara CIS agar kembali meraih kejayaannya sewaktu masih berbentuk Uni Soviet sebagai Great Power. Akan tetapi, hal ini akan berpengaruh pada citra Rusia di mata negara-negara Barat.
Jelas pula terlihat bahwa Rusia (dibawah Presiden Medvedev) tidak mengalami perubahan yang signifikan dari kepemimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Perdana Menteri Vladimir Putin, hal ini dikarenakan Putin memiliki pengaruh kuat dalam perumusan kebijakan yang dihasilkan oleh Medvedev (berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya).












Kesimpulan
Pemerintahan Medvedev memang dihadapkan pada pilihan dimana saat ini ekonominya sedang merangkak naik (dapat dikatakan pula) sebagai hasil dari jalinan hubungan dengan Barat atau Rusia harus mempertahankan kepentingan Rusia agar menjadi Great Power (lagi). Terlepas dari input-input yang ada, kapasitas Medvedev lah sebagai pemimpin sekaligus pembuat kebijakan harus (dan mampu) mengambil langkah (yang bertujuan) memperjuangkan kepentingan Rusia, yang kemudian merupakan sikap yang wajar dari seorang pemimpin, dan relevan terhadap instrumental rationality.
Beberapa kepentingan Rusia atas Kaukasia Selatan (disamping yang telah dijelaskan di pembahasan) antara lain kepentingan keamanan, geopolitik, dan keamanan.
Berdasarkan politik luar negeri Rusia, telah dinyatakan bahwa keamanan merupakan subyek penting perhatian Rusia. Hal ini didasarkan atas posisi geografis negara Kaukasia Selatan yaitu Ossetia Selatan memiliki peranan penting dalam menjaga batas selatan Rusia terhadap pengaruh Turki, Irian, dan Barat. Hal ini didasarkan atas factor sejarah dimana kaukasia merupakan wilayah yang pernah diperebutkan oleh Rusia, Iran, dan Ottoman (sekarang Turki) sejak abad XIX.
Dengan menjalin hubungan (baik dengan bersahabat maupun dengan tekanan) dengan negara Kaukasia Selatan mampu memperluas wilayah pengaruh Rusia. Dari segi geopolitik pun, Kaukasia Selatan merupakan “halaman belakang” bagi Rusia dan merupakan satu-satunya wilayah penghubung antara Rusia, Timur Tengah, dan Afrika.
Dan yang terpenting bagi Rusia adalah bahwa Kaukasia Selatan merupakan sumber dan jalur distribusi penting energi Eropa, selain itu merupakan jalur transmisi sumber energy dari Laut Kaspia yang merupakan perairan Internasional, seperti jalur pipa minyak Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) dan jalur distribusi gas alam Shah Deniz di Azerbaijan.
Daftar Bahan Bacaan

http://us.mobile.reuters.com/mobile/m/anyarticle/p.rdt?URL=http://www.reuters.com/
article/iduSL2436079220080224.
http://www.cdi.org/russia/johnson/2007-38-37.cfm.
http://www.nytimes.com/2008/01/29/world/europe/29russia.html?_r=1&ex=13593492
0&en=7b5e27fa4ccec4b9&ei=5088&partner=rssnyt&emc=rss
Rywkin, Michael. 2003. “Russia and the Near Abroad Under Putin”, dalam
American Foreign Policy Interest,25: 3—12, 2003.
Swedish Defence Research Agency (FOI) Division for Defence Analysis, Russian
Military Capability in a Ten-Year Perspective: Problems and Trends in 2005
Weyley, Charles, dan Eugene Wittkop. 2001. “World Politics: Trends and Transformation”.
Zeyno Baran, “ The Caucasus: ten years after independence”, the Washington
quarterly, vol. 25, no.1, winter 2002, Washington: CSIS.

President of USA

Periode year Democratic Party
28 1913-1921 Woodrow Wilson
32 1933-1945 Franklin D. Roosevelt
33 1945-1953 Harry S. Truman
35 1961-1963 John F. Kennedy
36 1963-1969 Lyndon B. Johnson
39 1977-1981 Jimmy Carter
42 1993-2001 Bill Clinton
44 2009-present Obama


Periode year Republican Party
16 1861-1865 Abraham Lincoln
26 1901-1909 Theodore Roosevelt
27 1909-1913 William Howard Taft
34 1953-1961 Dwight D. Eisenhower
37 1969-1974 Richard Nixon
38 1974-1977 Gerald Ford
40 1981-1989 Ronald Reagen
41 1989-1993 George H. W. Bush
43 2001-2009 George W. Bush

perluasan kerjasama cina dan taiwan 2008

TAKE HOME TEST
EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL II
PERLUASAN KERJASAMA CINA DAN TAIWAN 2008

DISUSUN OLEH :
HARMINA
2008 – 22 – 068

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)

JAKARTA
2010

Latar Belakang
Kemunculan Cina yang mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang lalu, meyakinkan dunia bahwa konstelasi hegemoni perekonomian berada pada Cina. Ditambah dengan mulainya ekspansi ekonomi Cina ke regional-regional lain seperti menjalin kerjasama menyeluruh dengan ASEAN dengan ACFTA.
Hal ini membuat ketakutan tersendiri bagi negara-negara di kawasannya, termasuk Taiwan. Dapat dikatakan setelah melonjaknya Cina dalam ekonomi internasional, posisi Taiwan cukup terpinggirkan. Semakin berkembang pemikiran satu Cina yaitu Republik Rakyat Cina, bukanlah Republik Cina milik Taiwan. Ketakutan itu juga terjadi pada wilayah-wilayah atau regional lain yang melakukan kerjasama perekonomian dan perdagangan dengan Cina, sebagai contoh ASEAN. Salah satu negara ASEAN, yaitu Indonesia, di dalam negerinya masih terjadi perdebatan sengit antara pihak yang pro dan kontra karena ada asumsi bahwa ACFTA hanya akan menguntungkan satu pihak, yaitu Cina.
Hal ini pula lah yang melanda Taiwan juga dikarenakan adanya keengganan atas dasar ambisi Cina untuk menyatukan kembali wilayah-wilayahnya seperti pada masa jayanya terdahulu, disamping dengan modus penguatan ekonomi sebagai jalan untuk menjadi hegemon, sebelum pada akhirnya pada November 2008, Cina dan Taiwan bersepakat bekerjasama dengan menandatangani perluasan kerjasama pada penerbangan, perkapalan laut, dan kerjasama pada isu keamanan pangan, sebagai usaha untuk menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi juga untuk mendekatkan pulau utama (Cina, sebagai pemerintahan yang diakui) dan Taiwan.
Padahal Cina dan Taiwan mempunyai catatan sejarah yang cukup berliku dalam pencapaian mereka saat ini yaitu kerjasama (khususnya) ekonomi dan perdagangan.







Rumusan Masalah

Hubungan Cina dan Taiwan yang awalnya sangat tidak bersahabat dalam perjalanannya, dimana Cina masih menganggap (dan akan terus menganggap) bahwa Taiwan adalah bagian terintegrasi dari negara Cina, di lain sisi Taiwan menganggap dirinya sebagai negara berdaulat, pada akhirnya mengalami tahap perluasan kerjasama diantara keduanya. Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan (setelah melalui proses yang panjang) yaitu Bagaimana perluasan kerjasama China dan Taiwan dapat terjadi pada 4 November 2008?

















TELAAH PUSTAKA

Robert O. Keohane, 1984, After Hegemony: Cooperation and Discord in The World Political Economy, New Jersey., Princetion University Press. Hal 47 -132

Rezim internasional merupakan salah satu aspek yang membawa pengaruh besar terhadap adanya suatu stabilitas internasional. Rezim internasional memfasilitggasi kerjasama lewat aturan, norma, prinsip, dan proses pembuatan kebijakan, dan berasal atau dikonstruksikan oleh hegemoni yang ada, yang membentuk cara pandang aktor satu sama lain. Ruggie dan Krasner, rezim menjadi wadah yang memfasilitasi dan apakah hubungan yang ada apakah ada konflik dan perbedaan
Rezim memiliki keterkaitan dengan adanya sebuah kerjasama yang membuat para aktor (negara) dapat terus bertahan dan mencapai kepentingannya. Di dalam kerjasama juga terdapat hegemoni dimana hegemoni merupakan suatu hal yang mendominasi baik melalui budaya, ideologi, dan aspek lain diluar militer. Hegemoni ini memunculkan order yang menjadi konsep dari suatu rezim internasional. Yang perlu dicatat adalah bahwa kerjasama tidak bergantung pada suatu hegemoni, akan tetapi hegemoni lah yang bergantung pada jenis kerjasama asimetris. Kerjasama ini terjadi bukan hanya karena shared interest yang nantinya akan menciptakan sebuah rezim baru, melainkan (juga) adanya keadaan untuk mempertahankan keberlangsungan suatu rezim sehingga tercipta suatu bentuk kerjasama. Jadi kerjasama dapat tercipta dan rezim berlangsung tanpa adanya hegemoni.
Keberadaan rezim dipengaruhi 3 aspek yaitu harmony, cooperation, dan discord. Discord merupakan lawan dari harmonisasi, menstimulasi kebutuhan untuk penyesuaian kebijakan, dimana dapat membawa kepada hubungan kerjasama atau bahkan malah makin mempertajam perselisihan. Lalu, harmony merupakan suatu kondisi dimana kebijakan suatu aktor (tanpa memperhatikan kepentingan dari aktor lain) dianggap oleh aktor lain sebagai sarana pencapaian tujuan aktor lain. Lalu, kerjasama muncul sebagai reaksi dari konflik atau berpotensi menimbulkan konflik. Tanpa adanya momok atau ketakutan konflik, tidak perlu diadakannya kerjasama. Setiap kebijakan aktor (mengejar tanpa memperhatikan kepentingan dari aktor lain) diperhatikan oleh aktor lain sebagai penghalang dalam upaya pencapaian tujuan mereka.




Akan tetapi ketika usaha tersebut dilakukan untuk penyelarasan kebijakan dan tiap kebijakan-kebijakan aktornya menjadi semakin cocok (shared interest) dengan yang lainnya maka dapat dikatakan situasi ini sebagai kerjasama atau dengan kata lain kerjasama terjadi ketika tindakan dari individu atau organisasi yang berbeda—yang dulunya tidak harmonis—dibuat agar sesuai dengan satu sama lain melalui proses negosiasi, dimana biasanya disebut sebagai “koordinasi kebijakan.”

Charles E. Lindblom mendifinisikan koordinasi kebijakan sebagai berikut (1965, hal. 227) :

Suatu rangkaian kebijakan (adalah) terkoordinasikan jika telah dibuat penyesuaian di dalamnya, sehingga konsekuensi yang merugikan dari keputusan manapun hingga derajat dan frekuensi tertentu, dapat dihindari, dikurangi, diimbangi, ataupun digantikan oleh kebijakan lain yang lebih sesuai atau berbobot.


Dalam melihat hubungan Cina dan Taiwan, maka konsep yang paling tepat digunakan berdasarkan perkembangan hubungannya yang diawali oleh konfrontasi dan diakhiri dengan kerjasama yang tentunya melewati proses yang cukup panjang dan membutuhkan penyesuaian-penyesuaian dan didasarkan atas shared interest, adalah KERJASAMA dan diperkuat oleh Charles E. Lindblom dalam definisi koordinasi kebijakannya.











PEMBAHASAN
Awal hubungan Cina dengan Taiwan pun dapat dikatakan merupakan hubungan yang konfrontatif—penuh perselisihan. Karena, menilik dari sejarah hubungan keduanya, mereka (dulunya) merupakan kesatuan Cina yang kemudian terpecah akibat perang saudara antara kaum komunis dan kaum nasionalis. Kemudian perang (secara fisik) diakhiri dengan kemenangan Cina Komunis pimpinan Mao Zedong tahun 1949 yang kemudian memproklamirkan berdirinya Republik Rakyat Cina, serta mengusir cina Nasionalis Cheng Kay-Sek ke Pulau Formosa (saat ini disebut Taiwan).
Perselisihan diantara mereka tidak selesai begitu saja. Dalam politik hubungan internasional, mereka berdua masih saja bersikap bertentangan. Di satu sisi, Cina menganggap bahwa Taiwan adalah penghianat atau pemberontak terhadap Pemerintah Pusat (yaitu Republik Rakyat Cina) dan Cina masih menganggap bahwa Taiwan merupakan bagian dari wilayah Cina bukannya bagian Cina yang memerdekakan diri dan berdaulat. Di lain sisi, Taiwan menganggap bahwa dirinya telah berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat yang berhak melakukan hubungan dengan negara lain sebagai sebuah negara. Dan dapat dikatakan bahwa yang sangat mempengaruhi peruncingan perselisihan antara Cina dan Taiwan adalah Amerika.
Setelah kekalahan Jepang dari sekutu, Amerika pun segera mengambil tindakan untuk mengamankan Asia Timur dari pengaruh komunisme dengan memerintahkan Jepang untuk meligitimasikan tentara dan segala atributnya kepada Chiang Kay-Sek. Disini, Amerika sudah memiliki pengaruh terhadap Cina. Uni Soviet pun tidak kalah, dia membantu pergerakan dari kelompok komunis. Dalam perkembangannya pun, Taiwan masih tetap saja dibayang-bayangi Amerika dalam gerak-geriknya di dunia internasional. Bahkan dalam PBB pun terjadi persaingan sengit antara siapa yang akan menjadi wakil resmi Cina dalam PBB, Republik Rakyat Cina kah atau Republik Cina? Akhirnya yang menjadi wakil resmi dewan keamanan tetap adalah Cina.
Hubungan mereka masih tetap belum berubah, begitu pula Amerika—sebagai pihak yang menjadi penggerak Taiwan—masih mengakui Taiwan sebagai representasi dari Cina dan dengan Doktrin Truman nya berusaha membendung komunis termasuk di wilayah Asia Timur. Pada saat pecah Perang Korea 1950, untuk mengamankan Taiwan dari usaha penaklukan komunis maka AS mengirim Pasukan ke-7 serta menghadang intervensi Cina di dalam perang tersebut. Kemudian pada tahun 1954 Amerika dan Republik Cina menandatangani pakta pertahanan bersama –dengan tujuan yang sama melindungi Formosa dari komunis—dengan dalih menjaga perdamaian dunia.
Akan tetapi kemudian ternyata terjadi diplomasi rahasia antara Amerika dan Cina. Amerika ingin Membuat evolusi sejarah, yaitu hubungan cina dan amerika yang dulunya konfrontatif dan berlawanan dapat berubah menjadi saling bekerjasama dalam membangun dunia. Mereka berperan seolah mereka berkonfrontasi dan berlawanan apalagi ideologinya, sehingga mereka pun menjalankan rencana mereka. Amerika mengatakan bahwa mereka pada dasarnya tidak akan menghalangi niat dan kepentingan Cina terhadap Taiwan, karena Amerika menganggap bahwa Cina sangat berpotensi untuk menjadi negara yang raising dan berpengaruh di bangsa Asia khususnya negara-negara Indo-Cina. dia berusaha mendekati cina karena dengan kerjasamanya bersama Cina, stabilitas dunia terjaga. Amerika menggunakan permasalahan Taiwan memperkuat bargaining positionnya terhadap Taiwan. Perang di Indo-Cina pun ternyata Cina dan Amerika telah mengaturnya. AS menjadikan jepang sebagai negara pem-balance Cina di Asia timur. Amerika memilih Cina karena cina tidak memiliki kecenderungan untuk ekspansionis (yang tentunya dapat mengancam hegemoni Amerika) karena telah merubah sistemnya. Jepang memiliki potensi infrastruktur untuk membangun dan ekspansionis.
Lalu pada tahun 1971 PBB mengakui Beijing Rep. Rakyat Cina sebagai perwakilan resmi cina dan mengusir kedudukan Chiang Kay-Sek. Sesuai yang direncanakan, pada tahun 1972, Nixon berkunjung ke RRC bertemu Perdana Menteri Chou En-Lau dan membahas mengenai normalisasi hubungan mereka bahkan untuk sering mengadakan kunjungan rutin. Amerika mengatakan bahwa mereka hanya mengakui satu cina yaitu RRC dan akan menarik seluruh pasukannya di Taiwan. Mereka menentang usaha untuk adanya suatu negara menjadi hegemoni di asia pasifik. Bahwa mereka berdua harus menjaga kerjasama demi keamanan indo-cina dengan juga AS menarik pasukannya. Mendorong jepang untuk maju demokratis dan mandiri.mengakui bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina.
Tahun 1973 Cina mengatakan bahwa akan sulit bekerjasama dengan Taiwan karena mereka pembangkang, menyatakan kepada Amerika (Kissinger). Kemudian pada tahun 1979, terjadi reformasi ekonomi Deng Xiao Ping yang juga pada tahun itu secara resmi Amerika dan RRC menjalin hubungan diplomatic, dan di satu sisi Amerika memutuskan hubungan diplomatic dengan Taiwan. Akan tetapi Amerika dan Taiwan tetap memiliki hubungan non governmental. Bahkan AS pun masih memberikan perlindungan keamanan bagi Taiwan. Pada tahun 1981 Pemimpin RRC Ye Jianying membujuk agar Taiwan mau kembali bergabung dan berada dibawah Cina dengan status sebagai wilayah otonomi atau administrasi khusus bebas dari campur tangan pusat. Bahkan diberikan subsidi. Pengusaha dapat berinvestasi dan melakukan kegiatan ekonomi di atau terhadap pusat.
Mengetahui bahwa Amerika intensif berdagang senjata ke Taiwan, maka pada tahun 1982 PRC menekan AS agar menghentikan perdagangannya tersebut dan menganggap bahwa banyak pelanggaran kesepakatan dilakukan AS.
Cina selalu berusaha untuk menggaet hati Taiwan dengan penawaran-penawarannya. Seperti pada tahun 1983 dan 1984, Deng Xiao Ping menegaskan adanya “Satu Cina, Dua Sistem” bahkan menjadikan Taiwan sebagai daerah otonomi khusus yang bebas berpolitik sendiriPada tahun 1983, Deng Xiao Ping menawarkan persatuan secara damai dan menjabarkan hak-hak yang didapatkan kelak oleh Taiwan. “Satu cina dengan dua sistem.” Kembali ditekankan pada 1984, “One China, Two Systems”. Pada tahun 1987 mengenai masalah Hong Kong dan Macau, dengan mengatakan bahwa cara untuk perkembangan cina adalah stabilitas politik,.
Di tahun 1987 pun Taiwan mengunjungi Cina dan menjalin hubungan dagang lintas selat, akan tetapi tidak mau hubungan politik dengan pulau utama, meskipun diimingi posisi yang lebih khusus dibanding otonomi khusus Hongkong. dan pada 1992, mereka membuat persetujuan menganut satu Cina. Sayangnya dibatalkan beberapa bulan setelahnya karena terjadi beda persepsi PRC selalu menganggap bahwa Taiwan merupakan bagian terintegrasi cina. Sedangkan ROC menganggap bahwa mereka adalah entitas merdeka dan berdaulat tak dibawah kendali PRC. Mereka berhak mengadakan hubungan diplomatic dengan negara manapun.
Bahkan untuk menyamakan persepsi atau pandangan mereka diadakanlah pada tahun 1993, pembicaraan antara SEF (Taiwan) dan ARATS (Cina) dan gagal dalam membicarakan masalah pergabungan kembali., dan terhenti saat Cina meluncurkan misilnya di perairan dekat Taiwan, tahun 1996. Meskipun demikian,sejak tahun 1990-an Cina telah membuka negaranya agar Taiwan bisa berinvestasi disana,dan terbukti di 1994 perdagangan dan investasi Cina dan Taiwan berkembang dengan cukup baik. Di tahun 1990 investasi Taiwan di Pulau utama mencapai 1 miliar dolar AS dan meningkat pada tahun 1993 mencapai 2,5 Miliar dolar AS. Bukan hanya investasi saja, tetapi juga aliran perpindahan/ transportasi dari Taiwan ke Cina.

Cina pun (semakin) berusaha menunjukkan ketertarikannya dengan melakukan negosiasi dan kerjasama dalam ekonomi dan kebudayaan. Akan tetapi pada tahun 1995 Cina marah karena Taiwan berusaha mengatakan pada dunia mereka independen, untuk itu pada tahun 1996 dilakukanlah penyerangan terhadap wilayah sekitar Taiwan. Pada tahun 1997 Lee mengunjungi pulau utama(pusat pemerintahan) dan menyarankan Cina dan Taiwan mengakhiri permusuhan, dan mendesak Beijing untuk membuat pakta perdamaian bersama. Apalagi pada saat itu terjadi krisis financial yang melanda asia, Kedua negara tersebut segera memfokuskan perhatian pada ekonomi dan mulai bernegosiasi seperti tahun 1998 diadakan pertemuan antara pemimpin SEF (Taiwan) dan ARATS (Cina). Hal ini agar mereka berdua dapat membendung kejadian yang sama apabila kelak terjadi.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam negara Taiwan terdapat perbedaan pandangan antara KMT (kuo min tang) dengan DPP (Democratic People Party ). KMT mendukung agar Taiwan merapat ke Cina sedangan DPP mendukung Taiwan yang berdaulat. Pada tahun 1997 hongkong kembali ke pangkuan Cina, dan Macau menyusul bergabung dibawah kedaulatan Cina pada tahun 1999. Sayangnya pemilu Taiwan tahun 2000 berasal dari partai DPP yaitu Chen Shun Bian, dan selama periode 1996-2000 kembali lagi ada Amerika dibaliknya. Hubungan Cina dan Taiwan takkan bisa dilepaskan dari pengaruh Amerika.. Sejak naiknya Chen maka Taiwan selalu berusaha menjadi negara Berdaulat bukan bagian dari Cina. Ini juga didasarkan atas pernyataan Bush berikut (yang menjadi presiden AS 2001) yaitu jika orang Taiwan tidak mau bersatu dengan pulau utama sampai cina menjadi negara demokrasi, Amerika punya tanggung jawab moral dan berstrategi memerintah agar sikap tersebut dihormati.

Atas dasar tekanan dari Bush maupun dari Taiwan yang menghendaki Cina menjadi lebih demokratis, bebas, kesetaraan kemakmuran, dan agar dapat menjadi Cina yang bersatu. Hal ini pun (akhirnya) diwujudkan oleh Cina dan dengan jelas tertera pada buku putih perkembangan perdamaian Cina tahun 2005 yaitu Promoting World Peace and Development with China's Own Growth. Cina terbuka untuk memberikan bantuan-bantuan kepada negara-negara yang mengalami kesulitan perekonomian pada krisis. Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan peristiwa Tiann Anmen pada tahun 1989 yang menunjukkan betapa tidak demokratis dan berperikemanusiaannya Cina. Maka sejak saat itu, diadakanlah pembicaraan untuk membahas lebih lanjut hubungan Cina dan Taiwan, khususnya saat Taiwan dipimpin oleh Ma Ying-Jeou yang mempercayai bahwa haruslah mempererat hubungan dengan Cina untuk meningkatkan perekonomian Taiwan.
Cina pun kemudian maju dan berkembang bahkan menjadi negara dengan GDP terbesar di Asia, bahkan perekonomiannya yang mampu mengekspansi dan mengalahkan negara-negara besar.kedudukan Cina semakin diperhitungkan. Lain halnya dengan Taiwan yang semakin terpinggirkan, apalagi kalau mereka menginstitusionalkan dan normalisasi perdagangan mereka. Disamping itu juga ada desakkan-desakkan dari ASEAN dan Amerika agar menandatangani perjanjian perdagangan keduanya, bahkan dari pengusaha-pengusaha dalam negeri demi kepentingan bisnisnya—bisa jadi kalau Taiwan masih termarjinalisasikan dan tidak meratifikasi perjanjian itu, maka manufaktur negaranya akan kalah, begitu juga investasi akan dialihkan kepada negara yang berada di regionalnya yaitu Cina yang memang diakui. Dan pada akhirnya, pada November 2008, ditandatanganilah kerjasama Cina dan Taiwan pada persoalan izin terbang, ketahanan pangan, lalu lintas air, serta layanan surat langsung, yang sejak tahun 1994 menghasilkan nominal yang cukup banyak bagi negara Cina dari Taiwan, maupun sebaliknya.



KESIMPULAN
Hubungan antara Cina dan Taiwan memang tidak dapat dipisahkan dari campur tangan Amerika. Hal ini memang sudah terjadi sejak Civil War berkecamuk antara komunisme dan nasionalisme. Bahkan ada konspirasi yang dilakukan Amerika yang juga melibatkan Cina dalam politik internasional. Jadi dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat memiliki pengaruh dalam kelangsungan rezim yang ada (memang bersifat politis), dimana dia juga turut serta dalam proses konflik maupun damai dari negara Cina dan Taiwan, bahkan dapat dikatakan kerjasama yang ada pun difasilitasi oleh dia, karena sebagai hegemoni, dia membutuhkan kerjasama Cina Taiwan untuk meningkatkan stabilitas (khususnya perekonomian) di Asia Timur.
Sesuai dengan konsep kerjasama bila dikaitkan dengan pembahasan bahwa memang benar, suatu kerjasama diawali dengan konflik dari para pelaku. Dan disini Cina melihat kepentingan dari Taiwan untuk independen yang bertentangan dengan pemikiran Cina bahwa Taiwan tetaplah merupakan bagian dari Cina. Akan tetapi, intensitas ketegangan tersebut dapat diredam ketika mereka memiliki shared interests yaitu kedua negara tersebut focus untuk meningkatkan perekonomian mereka. Lalu setelah melewati berbagai proses, mereka pun berupaya untuk membuat penyesuaian terhadap tuntutan atau harapan dari negara yang diajaknya bekerjasama itu seperti permintaan demokratisasi pun dilakukan oleh Cina atas permintaan Taiwan. Karena Taiwan menganggap bahwa baik Cina maupun Taiwan memang berkewajiban melakukan hal tersebut dalam rangka mewujudkan kerjasama yang padu dan baik.

METODE PENELITIAN SOSIAL

TUGAS MPS
HARMINA 2008-22-068
FISIP HI UPDM(B)

DAFTAR ISI
BAB I
Permasalahan
A. Latar Belakang Masalah 2
B. Identifikasi Masalah 3
C. Pembatasan Masalah 3
D. Perumusan Masalah 4
E. Tujuan Penelitian 4
F. Kegunaan Penelitian 4
BAB II
Kerangka Teori dan Hipotesis
A. Deskripsi Teori 5
B. Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya 5
C. Kerangka Berpikir 5
D. Asumsi 6
E. Perumusan Hipotesis 6
BAB III
Metodologi Penelitian
A. Populasi Penelitian 7
B. Sampel Penelitian 7
C. Instrumen Penelitian 8
D. Teknik Pengumpulan Data 8
E. Teknik Analisis Data 8
BAB IV
Organisasi dan Jadwal Penelitian
A. Organisasi Penelitian 10
B. Jadwal Penelitian 10


BAB I
PERMASALAH

a. Latar Belakang Permasalahan
Manusia pada dasarnya lahir dengan diberikan seperangkat Hak Asasi Manusia yang melekat dan bersifat inheren dalam dirinya. Hak asasi tersebut salah satunya adalah tidak diperlakukan sewenang-wenang atau mendapat penyiksaan baik fisik maupun perasaan dari orang lain. Ditambah lagi, bila menyangkutkan masalah ini dengan gender, tentu saja perempuan selalu diposisikan sebagai objek yang seharusnya mendapat perlindungan.
Sebagai konsekuensinya, di negara Indonesia, telah bermunculan berbagai lembaga yang mengusahakan agar hak wanita tetap dijunjung serta peraturan-peraturan pemerintah yang semakin memposisikan wanita di tempat yang layak. Hal ini dilakukan dengan harapan agar tidak terjadi atau seminimal mungkin kejadian tindak kekerasan pada perempuan dihindarkan.
Pada kenyataannya, saat ini banyak sekali penyimpangan yang dilakukan terhadap wanita. Sebagai contoh adalah domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga. Disamping menyakiti perasaan wanita juga (tak jarang) menyakiti fisik dari si wanita/ si istri tersebut. Ternyata perangkat pemerintahan dan LSM yang ada tidak dapat menghentikan laju dari maraknya kekerasan pada perempuan dalam rumah tangga.
Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan bagi penulis, mengapa bisa terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga meskipun perangkat norma dan institusi telah ada.
b. Identifikasi Masalah
Penulis mengidentifikasikan bahwa terjadinya kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Perempuan selaku istri melakukan perselingkuhan
2. Tingkat kemampuan perekonomian keluarga yang rendah, sehingga hal ini membuat kepala keluarga (lelaki) merasa stress dan mudah naik pitam
3. Sang suami memang memiliki sifat senang menyiksa lawan jenis dalam berhubungan seksual (mendapatkan kenikmatan saat melakukan hubungan seksual dengan menyiksa lawan jenisnya)
4. Rasa dendam dan ketidaksenangan sang suami karena harus menikah paksa dengan sang istri, karena :
a. Hamil di luar pernikahan, sehingga dipaksa bertanggung jawab
b. Mendapat paksaan (dijodohkan) oleh orang tua

c. Pembatasan Masalah
Berdasarkan serangkaian permasalahan yang telah diidentifikasikan oleh penulis, penulis memilih satu permasalahan saja yang menurut penulis relevan dengan keadaan masyarakat bersangkutan saat ini agar lebih mudah diteliti. Penulis membatasi masalah pada tingkat kemampuan perekonomian keluarga yang rendah.
d. Perumusan Masalah
Penelitian yang saya lakukan berusaha menjawab pertanyaan , apakah ada keterkaitan antara tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga dan rendahnya tingkat kemampuan ekonomi suatu keluarga ?
e. Tujuan Penelitian
Saya ingin menghadirkan riset lapangan tentang kondisi faktual atas keamanan dan kasih sayang yang diidamkan oleh perempuan selaku istri, dan juga untuk memberi peringatan bahwa masih banyak terjadi pelanggaran hak asasi yang ternyata berhubungan erat dengan “perekonomian” yang kemudian menjadi tugas rumah untuk dibenahi oleh pemerintah. Penelitian ini juga ditujukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Metode Penelitian Sosial.

f. Kegunaan Penelitian
a. Bagi penulis : Memperkaya wawasan mengenai keadaan sosial di sekitar serta pengalaman dalam merencanakan suatu penelitian yang kelak akan berguna bagi penulis dalam melakukan penelitian lainnya.
b. Bagi almamater : Memberikan masukan kepada almamater/yayasan atas program studi berkaitan dengan perspektif akademis (berhubungan dengan kurikulum dan proses belajar mengajar).
c. Bagi pembaca pada umumnya : membuka wawasan mengenai kondisi faktual kehidupan sosial di Indonesia, khususnya daerah studi kasus.

BAB II
KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teori
Teori Inferioritas Perempuan
Ahli Filsafat abad ke-18 yaitu Kant dan Fichte menyatakan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki, karena itu wajar jika perempuan ada di rumah dan harus dilindungi.

B. Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penulis belum menemukan hasil penelitian yang membicarakan tema yang sama seperti apa yang penulis angkat saat ini.

C. Kerangka Berfikir
Dalam penelitian ini digunakan teori Inferioritas Perempuan dari Immanuel Kant dan Fichte, ahli filsafat abad ke-18. Kant dan Fichte menyatakan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki, karena itu wajar jika perempuan ada di rumah dan harus dilindungi.
Penulis ingin memperlihatkan bahwa pada kenyataannya, terjadi sebuah ketidakwajaran yang dialami oleh perempuan dalam rumah tangga yaitu domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga), serta memperlihatkan penyebab utama kekerasan tersebut. Dan pada akhirnya, penulis ingin menyajikan saran agar masalah kekerasan dalam rumah tangga ini kelak dapat diminamilisir bahkan dihilangkan.

D. Asumsi
Wanita merupakan objek hidup yang harus mendapat perlindungan dan kasih sayang khususnya dari pasangan hidupnya,harus bebas dari penyiksaan secara fisik maupun batin.

E. Perumusan Hipotesis
1. Tekanan batin dan pikiran stress dapat menyebabkan lelaki ringan tangan.
2. Rendahnya tingkat kemampuan ekonomi bisa menjadi salah satu faktor yang memicu pikiran stress dan tekanan batin pada seorang kepala keluarga.
3. Rendahnya tingkat kemampuan ekonomi tersebut pun pada akhirnya dapat menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai istri merupakan objek pelampiasan rasa stress suami.





BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi Penelitian
Populasi adalah “Keseluruhan kelompok/elemen yang akan diteliti.” Populasi ini adalah suatu faktor penting dalam suatu penelitian. Karena merupakan keseluruhan subyek yang akan memberi batasan / ruang lingkup penelitian tersebut. Populasi digunakan untuk menanyakan pengertian kelompok dari mana asal sampel itu dipilih. Adapun yang dijadikan populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh keluarga yang bertempat tinggal di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. Baik lapisan masyarakat dengan lingkungan hidup yang mewah maupun masyarakat dengan lingkungan hidup yang sederhana bahkan juga kumuh.
B. Sampel Penelitian
Penelitian ini juga terkait dengan sampel. Sampel adalah “Bagian dari populasi yang memenuhi persyaratan representatif.” Sampel adalah sebagian / wakil dari populasi yang dipilih dengan cara-cara tertentu untuk mewakili keseluruhan kelompok populasi yang diteliti. Besar kecilnya sampel yang diambil dari penelitian ditentukan dengan pertimbangan waktu, tenaga, biaya, dan besar kecil resiko yang ditanggung peneliti. Dalam penelitian ini, kami mengambil responden sebanyak lima puluh (50) orang yaitu perempuan-perempuan yang telah berkeluarga, sekaligus melakukan wawancara langsung dengan mereka.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan penulis adalah instrument yang valid dan reliable yaitu menggunakan daftar pertanyaan tertutup. Disamping itu, penulis menggunakan instrument lain yaitu wawancara.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan daftar pertanyaan yang tersusun dalam questioner serta melakukan wawancara untuk mengetahui dan mengklasifikasikan pendapat sampel. Hal ini agar peneliti dapat berkomunikasi langsung dengan responden.

E. Teknik Analisis Data
Model yang digunakan adalah model analisis data Univariat.
Variabel Independen Variabel Dependen







Sedangkan, teknik analisis data pada penelitian ini antara lain :
1. Tahap proses data
2. Tahap pengorganisasian data
3. Tahap penentuan data secara sistematis
Untuk penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca, peneliti menggunakan cara persentase data dengan rumus :
Jumlah Jawaban A
P =
Jumlah Responden
x 100 %

Keterangan :
P = Persentase jawaban
Jumlah Jawaban A = Jumlah jawaban responden dengan kode yang sama yang
akan dicari persentasenya.
Jumlah responden = Banyaknya responden






BAB IV
ORGANISASI DAN JADWAL PENELITIAN
A. Organisasi Penelitian
Semua kegiatan penelitian ini dari awal sampai akhir tahap jadwal penelitian dilakukan secara mandiri oleh penulis
B. Jadwal Penelitian

KEGIATAN WAKTU
Penyusunan Desain Penelitian 02 Juni 2010
Penyusunan Istrumen Penelitian 02 Juni 2010
Seminar Proposal dan Instrumen 04 Juni 2010
Pengujian Validitas dan
Realibilitas Instrumen 05 Juni 2010
Penentuan Sampel 06 Juni 2010
Pengumpulan Data 08 Juni 2010
Analisa Data 14 Juni 2010
Pembuatan Draft Laporan 16 Juni 2010
Seminar Laporan 20 Juni 2010
Penyempurnaan Laporan 23 Juni 2010
Penggandaan dan Pembagian Laporan 26 Juni 2010

PANCASILA SEBAGAI KEPRIBADIAN BANGSA

TUGAS PANCASILA
PANCASILA SEBAGAI KEPRIBADIAN BANGSA


DISUSUN OLEH :
HARMINA
2008 – 22 – 068

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)

JAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang berlaku sejak tanggal 18 Agustus 1945 setelah sehari sebelumnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diproklamirkan. Sejak saat itu, segala aspek kehidupan di Indonesia diatur dan disesuaikan dengan Pancasila. Pancasila yang digali di bumi Indonesia selain sebagai dasar negara merupakan kepribadian bangsa Indonesia.

Sebagai salah satu negara yang menduduki peringkat 5 besar negara dengan penduduk terbanyak di dunia, Indonesia memiliki penduduk-penduduk yang berdiam di tiap provinsi dari 33 provinsi yang ada. Tiap masyarakat yang mendiami suatu provinsi tentu saja akan membentuk suatu kebudayaan daerah sebagai identitas dari tiap daerah, yang apabila kesemuanya dikumpulkan akan menjadi kebudayaan nasional. Kebudayaan inilah yang kemudian menjadi aspek cerminan bagi kepribadian bangsa Indonesia.
Kebudayaan tersebut bisa saja berupa cara berfikir, cara hidup, dan apapun yang dipengaruhi oleh agama dalam kehidupan sosial di dalamnya. Semua provinsi di Indonesia meskipun memiliki kepribadian masing-masing, akan tetapi mereka dapat mengintegrasikan diri mereka sebagai suatu bangsa karena memiliki rasa senasib sepenanggungan dan tujuan yang sama yaitu kesatuan dan persatuan bangsa.
Untuk itulah, Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, harus menjadi suatu instrumen kepribadian bangsa yang mampu merangkul kebudayaan serta aspek kehidupan bangsa lainnya, yang dapat dilihat pengamalannya dari kelima sila yang merupakan satu kesatuan di dalamnya sehingga membuatnya berbeda dari dasar negara dari negara lain.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Naskah Pancasila
Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

B. Penjabaran Kelima Sila Pancasila sebagai Gambaran Kepribadian Bangsa
1. KeTuhanan Yang Maha Esa
Indonesia memiliki 5 agama yang dianut oleh masyarakatnya, antara lain Islam sebagai agama dominan, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu. Tentunya, setiap agama tersebut mengajarkan kebaikan kepada umat pengikutnya yang membuat mereka menaati aturanNya serta berbakti kepadaNya. Sebagai manusia harus berbuat baik kepada sesama dengan melakukan tindakan sosial dan beramal, bertindak ramah, serta harus menjunjung toleransi antarumat beragama. Pribadi manusia inilah yang kemudian menjadi karakteristik bangsa Indonesia.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Perikemanusiaan)
Sebagai negara yang berketuhanan, Indonesia memiliki masyarakat yang bersifat peduli terhadap kesukaran dan mau membantu orang lain. Sehingga, dapat dikatakan bahwa perikemanusiaan adalah dasar hidup bangsa Indonesia untuk turut membantu memajukan umat manusia dan mencapai cita-cita kebahagiaan bagi seluruh dunia.

3. Persatuan (Kebangsaan) Indonesia
Persatuan dapat diwujudkan dengan adanya kerjasama dan kebersamaan. Semangat persatuan yang dianut Indonesia direalisasikan dalam bentuk gotong royong sebagai sifat bangsa Indonesia.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sila kerakyatan berakar dalam masyarakat Indonesia dan merupakan suatu unsur kepribadian bangsa Indonesia. Memang, pada saat ini demokrasi Indonesia yang berasal dari barat itu, menduduki peringkat ke-3 tertinggi di Dunia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, demokrasi ini hanya dijadikan alat bagi para birokrat pemerintah yang saling bertarung—bahkan menggunakan cara kotor—untuk memenuhi individual-interest nya. Hal ini cukup bertentangan dengan sifat kerakyatan Indonesia yang didasarkan atas kekeluargaan dan keputusannya harus mencapai mufakat. Maka, pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat lah yang harus dilakukan dan menjadi ciri dari bangsa Indonesia sekarang.

5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Kepribadian bangsa Indonesia yaitu keadilan sosial Indonesia yang menuju kepada cita-cita mencapai suatu tata masyarakat yang adil dan makmur. Keadilan harus dirasakan oleh keseluruhan lapisan masyarakat Indonesia agar dapat memajukan kesejahteraan dan kemakmuran Indonesia yang menyeluruh. Oleh karena itu perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan haruslah dikembangkan.

C. Kebudayaan Indonesia
Indonesia terdiri atas berbagai suku yang mendiami wilayah-wilayah Indonesia yang tersebar dari sabang sampai merauke. Suku-suku tersebut hidup dan menciptakan suatu aturan bersama serta menghasilkan kebudayaan. Inilah yang menggambarkan kebinekaan Bangsa Indonesia.
Budaya inilah yang juga menjadi kepribadian bangsa Indonesia sebagai budaya nasional yang kemudian dapat membedakan dasar negara Indonesia yaitu Pancasila dengan dasar negara dari negara lain, khususnya di era globalisasi ini yang mengaburkan batas ruang dan waktu. Budaya Indonesia yang masih terkenal sampai saat ini antara lain gotong royong, kerjasama, ramah tamah, musyawarah mufakat.
BAB III
SIMPULAN

Indonesia merupakan kelompok sosial yang luas dan berisi kelompok-kelompok kecil yang komponennya adalah keseluruhan provinsi yang memiliki karakteristik tersendiri. Bahkan, komponen masyarakat Indonesia pun tidak semua berasal dari ras asli, tetapi juga ada ras pendatang, khususnya Cina. Ditambah lagi, di era globalisasi saat ini, banyak sekali pengaruh barat yang masuk dan mendoktrin masyarakat Indonesia khususnya the way of life. Meskipun berada dalam budaya yang beraneka, Indonesia, sebagai sebuah negara, harus memiliki dasar negara yang menjadi pedoman hidup. Disinilah Pancasila berfungsi sebagai kepribadian bangsa dimana masyarakat utuh Bangsa Indonesia (sebagai komponen) merupakan keseluruhan sikap dan kepribadian yang berpedoman pada moral dan nilai-nilai pancasila.
Pancasila sebagai kepribadian bangsa harus mampu mendorong bangsa Indonesia secara keseluruhan agar tetap berjalan dalam koridornya yang bukan berarti menentang arus globalisasi, akan tetapi lebih cermat dan bijak dalam menjalani dan menghadapi tantangan dan peluang yang tercipta. Bila menghubungkan kebudayaan sebagai karakteristik bangsa dengan Pancasila sebagai kepribadian bangsa, tentunya kedua hal ini merupakan suatu kesatuan layaknya keseluruhan sila dalam Pancasila yang mampu menggambarkan karakteristik yang membedakan Indonesia dengan negara lain.




DAFTAR PUSTAKA

Budi Soeprapto. 2004. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya.
Jakarta : Penabur Ilmu
Darmodihardjo, Darji, C.S.T Kansil, Kasmiran Wuryo. 1979. Menjadi Warga Negara Pancasila.
Jakarta: PN. Balai Pustaka
Darmodihardjo, SH, Prof. Dardji. 1984. Pancasila suatu orientasi singkat. Jakarta: Aries Lima
Muchji Achmad, Neltje F. Katuuk. 1996. Pendidikan Pancasila. Jakarta: Gunadarma
Widjaja, Drs. A. W. 1991. Pedoman Pokok-Pokok dan Materi Perkuliahan Pancasila pada
Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo

ORGANISASI INTERNASIONAL

TUGAS ADMINISTRASI DAN ORGANISASI INTERNASIONAL

HARMINA 2008-22-068

FISIP HI UPDM (B)


PERGANTIAN KEDUDUKAN CINA OLEH RRC

SEBAGAI DEWAN KEAMANAN PBB


Perang saudara antara front komunis pimpinan Mao Zedong dan front nasionalis pimpinan Cheng Kay-Sek berakhir dengan kekalahan front nasionalis yang menyingkir ke Pulau Formosa (saat ini disebut Taiwan) pada tahun 1949. Dengan begitu, Cina terbagi dua yaitu Cina Komunis dengan nama Republik Rakyat Cina (yang selanjutnya akan disebut RRC) dan Cina Nasionalis (Republik Cina). Kemenangan front komunis ini menjadi awal dari sebuah kompleksitas yang kemudian muncul di dalam PBB.

RRC, sebagai sebuah negara yang telah merdeka, tentunya ingin mendapatkan kedudukan di mata internasional. Mengetahui bahwa Republik Cina[1] merupakan salah satu Dewan Keamanan Tetap PBB, maka RRC pun berusaha untuk mendapatkan posisi tersebut sebagai perwakilan Cina yang “legal.” Hal ini kemudian memunculan perdebatan sengit, dan tak lain pertentangan datang dari Cina Nasionalis dengan dukungan Amerika Serikat. Di sisi lain, Uni Soviet mendukung usaha RRC untuk menjadi perwakilan resmi Cina di PBB.[2]

Intensitas ketegangan pun mulai meningkat karena selalu muncul usaha masing-masing kubu kepentingan yang pro maupun yang kontra mengenai masalah perwakilan RRC. Tahun 1949 RRC yang meminta PBB untuk mencabut segala hak delegasi Cina Nasionalis untuk terus mewakili rakyat Cina di PBB,[3] ditanggapi Cina Nasionalis sebagai usaha yang mengancam integritas wilayah dan kemandirian politik Cina.

Masalah semakin memanas ketika Sekretaris Jenderal mengirimkan memorandum yang menegaskan bahwa tidak ada satupun penghalang bagi sebuah negara yang secara sah dan secara hukum diakui serta mewakili rakyatnya untuk ikut serta dalam PBB dan seluruh organ didalamnya, kepada Cina nasionalis. Bagi Cina Nasionalis, hal ini dianggap sebagai sebuah upaya yang mencoreng tujuan PBB dalam menciptakan perdamaian dunia. Karena ditakutkan bahwa bila Cina Komunis melanggeng di PBB, maka ekspansi ke Asia Tenggara akan sulit dibendung. Apalagi Cina Nasionalis berargumen bahwa ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Sekretaris Jenderal khususnya dalam penyiapan memorandum yang ternyata tidak seluruh anggota Dewan Keamanan menerimanya. Dan merujuk pada pasal 94 Piagam, memungkinkan adanya intervensi dari Dewan Keamanan kepada Sekretaris Jenderal. Cina Nasionalis mengecam usaha Sekretaris Jenderal untuk membuat masalah perwakilan Cina di PBB tidak akan mengancam keamanan dan perdamaian internasional karena diindikasikan terdapat kepentingan yang menungganginya.

Dan kembali terlihat bahwa banyak kepentingan yang terbawa dalam badan PBB yaitu (salah satunya) ketika Uni Soviet menduduki posisi Presiden Dewan Keamanan, mereka bersikeras agar Cina Nasionalis ditendang keluar dari Dewan Keamanan, yang kemudian usul ini ditolak saat pemungutan suara.

Berbagai usulan pun dilemparkan ke Majelis Umum yang kemudian diteruskan kepada Komite Politic Ad Hoc. Kuba mengajukan masalah representasi ini kepada Majelis Umum PBB untuk diangkat dalam sidang ke-V tahun 1950 agar membahas perihal surat kepercayaan dan masalah legalitas. Cina Nasionalis berusaha memperumit masalah representasi RRC dengan mengamandemen draft resolusi yang menyatakan bahwa keputusan Majelis Umum PBB mengenai legalitas representasi suatu negara anggota didasarkan atas masalah mendesak yang memerlukan 2/3 suara. Sedangkan, Inggris tidak mempermasalahkannya karena menganggap bahwa RRC telah mewakili keseluruhan Rakyat Cina.

Dalam awal sidang tersebut India dan Uni Soviet mengusulkan agar RRC lah yang mewakili Cina di badan PBB, dan kemudian ditolak oleh Majelis Umum. Terlihat kembali bahwa ada nuansa politis dalam keputusan Majelis Umum ini yang berusaha menunda . Atas usul Kanada, Majelis Umum pun membentuk komite khusus, akan tetapi dalam persidangan berikutnya, Majelis Umum menyetujui resolusi bahwa komite khusus belum memberi rekomendasi tentang masalah ini. Majelis Umum juga menyuruh Komite Umum untuk menunda pembahasan setiap usulan agar Pemerintah RRC tidak mewakili Cina di Majelis Umum PBB selama persidangan yang berlangsung sampai tahun 1960.

Lalu, tahun 1961 dan (tepatnya) menjelang persidangan Majelis Umum PBB ke–XX tahun 1965, perdebatan kembali muncul dari pihak yang pro dengan kontra dan dimenangkan oleh draft pihak kontra yaitu 11 negara[4] yang mengusulkan agar masalah perwakilan Cina di PBB dijadikan masalah mendesak yang memerlukan 2/3 mayoritas suara. Sedangkan draft pihak pro yaitu 12 negara[5] menghendaki agar RRC yang duduk dan mewakili Cina di PBB serta menendang Chiang Kay-Sek dari posisinya di PBB, ditolak.

Seiring dengan semakin banyaknya negara-negara yang merdeka, maka anggota PBB pun semakin bertambah. Hal ini mempengaruhi dinamika permasalahan perwakilan Cina di PBB.

Akhirnya pada tahun 1971 menjelang sidang Majelis Umum PBB ke-XXVI, ketujuhbelas negara[6] bersepakat pada Juli 1971 agar menambahkan mata acara Restoration of the Lawful Rights of the People’s Republic of China in the United Nations sesuai dengan Peraturan 20, termasuk memorandum penjelasannya.

Pada intinya ketujuhbelas negara tersebut menekankan dan menyetujui bahwa representasi RRC di PBB mewakili Cina merupakan hal yang patut untuk segera dilaksanakan. Kedudukan Chiang Kay-Sek pun harus digantikan oleh pemerintah RRC. Hal ini disebabkan oleh bahwa RRC dianggap telah mewakili seluruh rakyat Cina, sedangkan, Taiwan tidaklah mewakili rakyat Cina karena disana terdapat tentara Amerika yang berkedudukan tetap.

Mereka menganggap bahwa selama ini usaha untuk menuduh RRC dan mempertahankan posisi Republik Cina di PBB adalah bersifat politis dari Amerika yang (mungkin) akan menjadi contoh buruk bagi negara lain bahkan merusak citra dan eksistensi PBB kedepannya. Akibatnya, Amerika dan PBB dianggap menyalahi tujuan dan prinsip universalitas PBB, yang kelak kemungkinan akan dilakukan lagi terhadap bangsa lain. Padahal, RRC telah memulai usaha memperbaiki diri dengan mendemonstrasikan keinginannya hidup damai yang direalisasikannya melalui kebijakan-kebijakan bersifat damai bersama dengan negara lain. Jadi seharusnya, bukanlah suatu masalah bila representasi Cina digantikan oleh pemerintah RRC.

Amerika Serikat(pihak kontra) mengajukan mata acara The Representation of China in United Nations pada agustus 1971. AS mengatakan bahwa UN harus bertanggung jawab dalam masalah keterwakilan Cina di PBB. AS juga mengatakan bahwa PBB tak perlu ikut campur urusan antara RRC dan Republik Cina. RRC tetap dapat menjadi perwakilan Cina, tetapi posisi Republik Cina tidak ditiadakan.

Situasi semakin memanas dan memuncak dalam Rapat Umum 22 September 1971. Oleh Komite Umum, usulan Amerika mengenai mata acara The Representation of China in United Nations diterima, sedangkan memasukkan dua mata acara sebagai sub-sub mata acara dari Question of China, ditolak karena (bagi pihak pro RRC) hal ini dianggap tak relevan dan merupakan usaha politik 2 china dengan 2 representasi. Kemudian Komite Umum merekomendasikan mata acara dari 11 negara dan AS kepada Majelis Umum.

Atas rekomendasi tersebut, pemungutan suara hanya diadakan terhadap mata acara yang diusulkan oleh AS, mata acara 11 negara diterima tanpa ditolak. Tanggal 18 sampai 25 oktober 1971 dilakukan pembahasan mata acara Restoration of the lawful rights of the people’s Republic of China in the UN yg diterima dalam agenda Majelis Umum PBB. Ada sekitar 7 draft resolusi yang diajukan.

Draft resolusi pertama[7] menyatakan bahwa wakil Cina yang sah diakui satu-satunya di PBB adalah RRC dan Chiang Kay-Sek harus tendang karena kedudukannya tak sah. Arab menanggapi dengan mengajukan amandemen yang menekankan bahwa pemerintahan RRC secara de facto dan de jure lah yang patut menjadi wakil Cina di semua badan PBB. Draft resolusi kedua dan ketiga berasal dari 22 negara[8] mendukung representasi tetap Republik Cina di PBB dan bisa memasukkan RRC dalam PBB. Draft resolusi keempat,Arab Saudi menghendaki agar Republik Cina berkonfederasi dengan Pemerintahan RRC dan Republik Cina tetap berdiri sebagai sebuah negara merdeka berstatus netral. Draft kelima dari Tunisia mengusulkan bahwa yang berkedudukan di Dewan Keamanan adalah RRC sedangkan Formosa hanya sebagai anggota PBB.

Dengan dibacakannya 5 draft tersebut, sesuai dengan aturan 91 Tata Cara Majelis Umum PBB, pemungutan suara pun terlebih dahulu dilaksanakan terhadap resolusi pertama 23 negara yaitu A/L 630 mengenai pengembalian semua hak RRC, mengakui wakil pemerintahannya adalah satu-satunya yang sah, dan mendepak wakil Chiang Kay-Sek dari kedudukannya yang tak sah di PBB maupun badan lain yang berhubungan dengan PBB. Hasilnya, 76 setuju, 35 menolak, dan 17 abstain.

Dengan disetujuinya draft pertama, tak perlu lagi ada pemungutan suara terhadap draft yang lainnya. Perdebatan panjang ini pun dimenangkan kubu pro perwakilan RRC atas Cina dalam PBB. Maka, berdasarkan Pasal 28 (1) dan Aturan 13[9] Tata Cara Sementara Dewan Keamanan, resolusi tersebut, oleh Sekretaris Jenderal PBB, disampaikan kepada Menteri Luar Negeri RRC dan menyuruh RRC menaruh wakilnya dalam Dewan Keamanan PBB dengan menyampaikan surat-surat kepercayaan kepada Sekretaris Jenderal. Dengan demikian, kedudukan Republik Cina pun dalam Dewan Keamanan PBB (kemudian) resmi digantikan oleh Republik Rakyat Cina.

Sumber Bacaan :

Suryokusumo, Sumaryo. 1987. Organisasi Internasional. Jakarta : Universitas Indonesia

(UI-Press)



Notes

[1] Sesuai dengan Pasal 23(1) Piagam PBB yang menyebutkan bahwa Republik Cina merupakan salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

[2] Uni Soviet dan Cina Komunis telah berhubungan akrab karena berhaluan komunis.

[3] Lihat dokumen Majelis Umum PBB No. A/1123.

[4] Australia, Brazil, Columbia, Gabon, Italia, Jepang, Madagaskar, Nicaragua, Philipina, Thailand,and USA.

[5] Albania, Aljazair, Cambodia, Congo, Cuba, Ghana, Guinea, Mali, Pakistan, Romania, Somalia, and Syria.

[6] Albania, Aljazair, Cuba, Guinea, Iraq, Mali, Mauritania, Republik Demokrasi Rakyat Yemen, Republik Rakyat Congo, Romania, Somalia, Sudan, Syria, Republik Persatuan Tanzania, Yemen, Yugoslavia, dan Zambia, kemudian ditambah Pakistan.

[7] Diajukan oleh 23 negara : Albania, Aljazair, Burma, SriLangka, Kuba, Equatorial Guinea, Guinea, Iraq, Mali, Mauritania, Nepal, Pakistan, Rep. Demokrasi Rakyat Yemen, Rep. Rakyat Kongo, Romania, Sierra Leone, Somalia, Rep. Arab Syria, Sudan, Rep. Persatuan Tanzania, Yemen, Yogoslavia, dan Zambia.

[8] Australia, Columbia, Costa Rica, Dominican Republic, El Salvador, Fiji, Gambia, Guatemala, Haiti, Honduras, Japan, Lesotho, Liberia, New Zealand, Nicaragua, Philippines, Swaziland, Thailand, USA, and Uruguay.

[9] Setiap anggota Dewan Keamanan harus diwakilkan pada pertemuan Dewan Keamanan oleh perwakilan yang resmi. Surat-surat kepercayaan dari wakil dalam Dewan Keamanan harus diserahkan kepada Sekjen paling lambat 24 Jam sebelum dia ikut dalam sidang Dewan Keamanan. Surat-surat kepercayaan harus dikeluarkan baik oleh kepala pemerintahan/negara terkait ataupun Menteri Luar Negeri dari tiap anggota Dewan Keamanan yang akan didudukan dalam Dewan Keamanan tanpa mengeluarkan surat-surat kepercayaan.