Senin, 05 Juli 2010

invasi rusia ke georgia 2008: sebuah pendekatan psikologikal

ANALISA POLITIK LUAR NEGERI
KEBIJAKAN RUSIA TERHADAP GEORGIA:
INVASI RUSIA KE GEORGIA 2008



DISUSUN OLEH :
HARMINA
2008 – 22 – 068
KELAS JUMAT PAGI

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
JAKARTA
2010
KEBIJAKAN RUSIA TERHADAP GEORGIA:
INVASI RUSIA KE GEORGIA 2008

Latar Belakang
Berakhirnya Perang Dingin ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 sebagai akibat dari ketidakstabilan keadaan politik dalam negeri Uni Soviet tersebut. Lalu di dalam negerinya, Presiden saat itu, Michael Gorbachev digantikan oleh Boris Nikolayevich Yeltsin pada tahun 1990. Situasi politik pada masa Gorbachev mengalami kendala dan terpaksa harus mereformasi sistem ekonomi Soviet menjadi sistem pasar dan juga memulai untuk membentuk negara demokrasi serta pemberian otonomi. Namun usaha ini mengalami kegagalan dan berujung pada runtuhnya adidaya tersebut, lalu terpecahlah menjadi 13 negara yang terbagi atas sejumlah wilayah, yaitu Rusia dengan bentuk Republik dan sisanya negara satelit memerdekakan diri dan menjadi anggota CIS (The Commonwealth of Independent States). Akan tetapi (selanjutnya) hubungan Rusia dengan salah satu negara anggota pecahan Uni Soviet, yaitu Georgia, tidak berjalan baik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Rusia dan Georgia merupakan negara-negara pecahan Uni Soviet. Sejak tahun 1990-an, hubungan Rusia dan Georgia pun memang tidak baik. Di awal tahun 1990-an, Ossetia Selatan dan Abkhazia terpisah dari Georgia, tepatnya tahun 1992, dan menjalin hubungan dekat dengan Rusia. Akan tetapi, Georgia tidak mengakui dan masih menganggap bahwa Ossetia Selatan merupakan bagian dari Georgia. Putin adalah seorang yang dapat dikatakan berambisi membuat Rusia menjadi kekuatan besar lagi dalam kancah Dunia, termasuk dengan usahanya integrasikan Rusia dengan CIS.


Disamping itu, kedekatan Georgia dengan barat menimbulkan kecemasan bagi Rusia, karena pengaruh Barat akan dengan mudah menyebar di wilayah Kaukasia (Selatan) yang mengurangi Sphere of Influence Rusia disana. Apalagi, Rusia tahu bahwa Barat memiliki kepentingan untuk membatasi ketergantungannya terhadap dominasi distribusia energy Rusia (begitu juga Iran) untuk mengadakan kerjasama melewati jalur energy minyak dan gas alam yang melewati wilayah Azerbajuan-Georgia-Turki (jalur pipa Baku-tbilisi-Ceyhan). Mendukung kemerdekaan Abhazia dan Ossetia Selatan merupakan cara Rusia untuk mempersempit ruang gerak Georgia dan memastikan pengaruh Rusia di wilayah Kaukasia, tetap terjaga.
Pada Agustus 2008, Rusia melakukan invasi ke negara Georgia dengan alasan bahwa Georgia telah melakukan berbuat kerusakan dan kekejaman dengan menginvasi Ossetia Selatan (yang masuk dalam wilayah Kaukasia), dan berdalih bahwa hampir sebagian besar korban merupakan warga negara yang beridentitas Rusia. Georgia memilih untuk melakukan penyerangan besar-besaran dengan tujuan membuat Ossetia Selatan berada kembali di bawah kendali pemerintah pusat Georgia. Hal ini pun ditanggapi dengan Rusia dengan melakukan penyerangan ke Georgia.

Perumusan Masalah
Yang menjadi pertanyaan analisa masalah ini adalah mengapa Rusia dibawah Dmitry Medvedev melakukan invasi ke Georgia pada Agustus 2008 ? Bagaimana Dmitry Medvedev merumuskan kebijakan luar negerinya terhadap Georgia khususnya terkait isu invasi Rusia ke Georgia?




Kerangka Pemikiran
Proses pembuatan kebijakan Amerika Serikat ini cukup relevan jika dianalisa melalui pendekatan “Role of Leader” (psychological) karena Presiden Dmitry Medvedev selaku pemimpin negara dan pembuat keputusan sangat memainkan peranan dalam perumusan kebijakan luar negeri Rusia. Di dalam pendekatan psychological ini pun terdapat dua konsep rasionalitas dari pembuat kebijakan yaitu :
1. Instrumental Rationality
Yaitu si pembuat kebijakan memiliki pilihan alternatif sendiri, dan ketika dihadapkan dengan dua atau lebih pilihan alternatif dia akan memilih yang mana yang terbaik outcomenya. Sehingga, pembuat keputusan bebas memilih opsi mana yang terbaik(menurutnya).
2. Procedural Rationality
Yaitu pembuatan kebijakan yang didasarkan pada informasi yang lengkap dan pertimbangan yang hati-hati dalam memilih alternatif yang ada beserta konsekuensinya. Konsep ini seperti halnya Realisme yang percaya bahwa dunia ini anarki, sehingga kebijakan yang ada adalah sama yaitu untuk mempertahankan eksistensi negaranya.
Merujuk pada konsep tersebut diatas, kebijakan Rusia dibawah pimpinan Dmitry Medvedev untuk mengirim pasukan Rusia ke Georgia dapat dianalisa melalui pendekatan terhadap personality, pengalaman, latar belakang Medvedev selaku pembuat keputusan. Akan tetapi, bukan hanya hal-hal tersebut yang turut mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh Medvedev. Mengutip perkataan Abraham Lincoln sebagai mantan Presiden AS (1861-1865) sebagai berikut:
”Saya tidak mengontrol keadaan, tetapi keadaanlah yang mengontrol saya” .
Atau, dapat dikatakan bahwa faktor situasi politik domestik dan internasional, bahkan orang-orang disekitarnya, juga turut serta mempengaruhi kebijakan Dmitry Medvedev untuk melakukan Invasi ke Georgia tahun 2008.
Pembahasan
Pada dasarnya kebijakan luar negeri Rusia pasca Uni Soviet terdiri pada beberapa pilar penting yakni hubungan dengan negara-negara pecahan Uni Soviet, hubungan dengan negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika, (juga) Asia.
Prioritas pertama ditujukan pada negara-negara bekas Uni Soviet yang tergabung dalam CIS dan pembentukan scara bertahap Uni Rusia-Belorusia sebagai upaya reintegrasi bekas konstituen Uni Soviet tersebut. Prioritas ini ditujukan untuk menjamin keamanan Rusia scara geopolitik pasca runtuhnya Soviet. Hal ini terlihat dari bidang-bidang kerjasama yang menjadi prioritas seperti upaya penyelesaian bersama atas konflik-konflik yang terjadi di negara CIS (Commonwealth of Independence States).
Disamping itu, titik berat selanjutnya kebijakan internasional Rusia adalah terhadap negara-negara Eropa. Kebijakan tradisional ini berangkat dari kesadaran menjaga rumah Eropa dimana bangsa ini Secara geopolitik tinggal. Arah utama kebijakan ini adalah pembentukan system keamanan bersama eropa yang stabil dan demokratis. Rusia dan berkepentingan langsung dengan perkembangan organisasi kerjasama dan keamanan eropa (OSCE).
Hal ini menjadi dilemma sendiri bagi Rusia dalam (hal ini untuk) menjalankan politiknya terhadap Georgia, karena pasti akan melibatkan dan (berpeluang) mengorbankan hubungan baik yang telah dijalin bersama negara-negara Barat tersebut.
Medvedev sendiri pada awalnya lebih mencondongkan Rusia pada pendekatan Antlanticism yaitu membangun kerjasama dengan negara Eropa dan AS, terkait dengan demokratisasi Rusia dan liberalisasi Rusia. Karena dengan latar belakang pendidikannya hukum, maka dia dapat dikatakan mengusahakan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi, bahkan termasuk kebebasan ekonomi. Dia mengatakan bahwa kebebasan lebih-baik daripada tidak ada kebebasan, serta menyerukan reformasi sistem yudisial dan pemisahan yang nyata antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Dan dengan liberalisasi inilah yang (pada saat Yeltsin berkuasa) menjadi syarat untuk menjalin hubungan dengan barat.
Akan tetapi kemudian, dalam masalah Georgia, kebijakan Rusia malah berpendekatan Eurasianism. Dimana Rusia mulai terkonsentrasi dengan isu-isu reintegrasi dengan alasan perlindungan etnis Rusia di negara tersebut. Dalam pendekatan eurasianis ini, Rusia dihadapi dengan pilihan untuk bertindah isolasionis atau imperialis karena nilai-nilai nasionalis Rusia mulai menyeluap menuntut status The Great Power seperti Uni Soviet terdahulu.
Untuk itu perlu diketahui bahwa apa sesungguhnya input-input dari kebijakan Rusia (dibawah Presiden Medvedev) dalam penyerangan terhadap Georgia.
Dari segi individual source, Presiden Medvedev sendiri merupakan orang yang lurus dalam artian tidak neko-neko dan tidak suka dengan tantangan. (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa) Medvedev merupakan penganut kebijakan liberalisme terkontrol dimana dia menekankan pada perekonomian sebagai sektor utama seperti sektor energi dan industri pertahanan harus dikuasai oleh negara demi menjamin perusahaan tersebut memiliki pengaruh politis di dalam dan di luar negeri. Dan Presiden Medvedev memiliki latar belakang sebagai pelaku bisnis, yaitu Dewan Direksi Gazprom—perusahaan gas terbesar milik Rusia, lalu direktur urusan hukum perusahaan kertas terbesar di Rusia, serta pendiri perusahaannya sendiri yaitu Uran.
Medvedev mulai terjun ke kancah pemerintahan yaitu dengan menjadi konsultan hukum di beberapa perusahan dan institusi pemerintahan, dan untuk pertama kalinya pada tahun 1991, dia kenal dan bekerja bersama Vladimir Putin sebagai penasehat hukum Sobchak dan konsultan hukum untuk komite urusan eksternal yang diketuai Putin. Lalu pada tahun 1999 dengan diangkatnya Putin sebagai Presiden Rusia menggantikan Yeltsin, karir politik Medvedev pun dimulai. Medvedev diangkat sebagai wakil kepala badan administrasi kepresidenan. Kemudian Medvedev ditugaskan dengan jabatan baru sebagai wakil pertama Perdana Menteri di pemerintahan Putin.
Disamping itu, Dalam masalah Ossetia Selatan dengan Georgia, Rusia memiliki kepentingan nasionalnya sendiri mengenai kestabilan di Ossetia Selatan yang tentunya berbenturan dengan kepentingan Georgia atas Ossetia Selatan. Tidak ada minyak yang dapat mengalir dari Azerbaijan ke Turki tanpa adanya aliran melalui jalur pipa wilayah Georgia. Terlebih lagi situasi internal di Georgia mempermudah Rusia pencapaian kepentingannya. Negara tersebut terbagi atas pemerintah pusatnya dan separatis yang mau memisahkan Abakhzia dan Ossetia Selatan, negara itu juga militernya lemah, dan terlihat sebagai negara dengan perekonomian rendah alias paling miskin diantara CIS. Dengan dasar ini, (tentu saja) mempengaruhi Medvedev yang dahulunya berlatar belakang sebagai pebisnis yaitu Dewan Direksi Gazprom, perusahaan gas terbesar di Rusia.

Akan tetapi disini arah kebijakan Medvedev dapat berubah juga, tidak terlepas dari pengaruh Vladimir Putin sebagai Perdana Menteri dalam kepemimpinannya. Hubungan antara Medvedev dan Putin sudah terjalin sejak lama yaitu saat mereka sama-sama bekerja untuk Yeltsin. Medvedev bisa naik menjadi presiden atas dasar rekomendasi Putin. Hal ini juga karena terdapat opini public bahwa dengan naiknya Putin maka Rusia dianggap tidak demokratis dan kurang memberi kebebasan. Putin dalam kepemimpinannya tidak melakukan reformasi demokrasi karena dia masih mengekang kebebasan pers, peradilan, dan parlemen.
Sesungguhnya (pun) pemilihan Medvedev bersifat politis karena yang pertama bahwa Putin telah terpilih menjadi presiden dalam 2 putaran sehingga tidak mungkin dia naik lagi. Hal ini menjadi pertimbangan saat pada akhirnya memilih Medvedev sebagai Presiden penggantinya tahun 2008 yaitu mengenai struktur keamanan Rusia. Maka Medvedev disini dapat dikatakan (tapi tidak mutlak) sebagai boneka yang dikendalikan oleh Putin. Medvedev orang yang setia dan memang sudah sejak lama ikut dengan Putin dalam kancah politik. Bahkan, sebagai orang yang berada di lingkungan Presiden Medvedev dan jabatannya sebagai Perdana Menteri Putin dapat dengan mudah menyarankan Medvedev (bahkan menekannya) agar melakukan penyerangan, ataupun dalam pengambilan keputusan lain.
Tanda-tanda kebijakan Rusia terhadap Georgia sudah jelas ada kaitannya dengan kepentingan Rusia salah satunya dalam isu reintegrasi etnis Rusia khususnya di negara-negara CIS agar kembali meraih kejayaannya sewaktu masih berbentuk Uni Soviet sebagai Great Power. Akan tetapi, hal ini akan berpengaruh pada citra Rusia di mata negara-negara Barat.
Jelas pula terlihat bahwa Rusia (dibawah Presiden Medvedev) tidak mengalami perubahan yang signifikan dari kepemimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Perdana Menteri Vladimir Putin, hal ini dikarenakan Putin memiliki pengaruh kuat dalam perumusan kebijakan yang dihasilkan oleh Medvedev (berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya).












Kesimpulan
Pemerintahan Medvedev memang dihadapkan pada pilihan dimana saat ini ekonominya sedang merangkak naik (dapat dikatakan pula) sebagai hasil dari jalinan hubungan dengan Barat atau Rusia harus mempertahankan kepentingan Rusia agar menjadi Great Power (lagi). Terlepas dari input-input yang ada, kapasitas Medvedev lah sebagai pemimpin sekaligus pembuat kebijakan harus (dan mampu) mengambil langkah (yang bertujuan) memperjuangkan kepentingan Rusia, yang kemudian merupakan sikap yang wajar dari seorang pemimpin, dan relevan terhadap instrumental rationality.
Beberapa kepentingan Rusia atas Kaukasia Selatan (disamping yang telah dijelaskan di pembahasan) antara lain kepentingan keamanan, geopolitik, dan keamanan.
Berdasarkan politik luar negeri Rusia, telah dinyatakan bahwa keamanan merupakan subyek penting perhatian Rusia. Hal ini didasarkan atas posisi geografis negara Kaukasia Selatan yaitu Ossetia Selatan memiliki peranan penting dalam menjaga batas selatan Rusia terhadap pengaruh Turki, Irian, dan Barat. Hal ini didasarkan atas factor sejarah dimana kaukasia merupakan wilayah yang pernah diperebutkan oleh Rusia, Iran, dan Ottoman (sekarang Turki) sejak abad XIX.
Dengan menjalin hubungan (baik dengan bersahabat maupun dengan tekanan) dengan negara Kaukasia Selatan mampu memperluas wilayah pengaruh Rusia. Dari segi geopolitik pun, Kaukasia Selatan merupakan “halaman belakang” bagi Rusia dan merupakan satu-satunya wilayah penghubung antara Rusia, Timur Tengah, dan Afrika.
Dan yang terpenting bagi Rusia adalah bahwa Kaukasia Selatan merupakan sumber dan jalur distribusi penting energi Eropa, selain itu merupakan jalur transmisi sumber energy dari Laut Kaspia yang merupakan perairan Internasional, seperti jalur pipa minyak Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) dan jalur distribusi gas alam Shah Deniz di Azerbaijan.
Daftar Bahan Bacaan

http://us.mobile.reuters.com/mobile/m/anyarticle/p.rdt?URL=http://www.reuters.com/
article/iduSL2436079220080224.
http://www.cdi.org/russia/johnson/2007-38-37.cfm.
http://www.nytimes.com/2008/01/29/world/europe/29russia.html?_r=1&ex=13593492
0&en=7b5e27fa4ccec4b9&ei=5088&partner=rssnyt&emc=rss
Rywkin, Michael. 2003. “Russia and the Near Abroad Under Putin”, dalam
American Foreign Policy Interest,25: 3—12, 2003.
Swedish Defence Research Agency (FOI) Division for Defence Analysis, Russian
Military Capability in a Ten-Year Perspective: Problems and Trends in 2005
Weyley, Charles, dan Eugene Wittkop. 2001. “World Politics: Trends and Transformation”.
Zeyno Baran, “ The Caucasus: ten years after independence”, the Washington
quarterly, vol. 25, no.1, winter 2002, Washington: CSIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar